BBERITA UTAMA
16 Oktober 2008
Negara Bangkrut bila Rakyat Tak Jujur
|
APA jadinya bila dalam sebuah kantin, pembelinya berlaku tidak jujur, curang, dengan membayar tidak semestinya? Pasti tinggal menunggu bangkrut atau gulung tikar. Alih-alih menuai keuntungan dan berkembang. Begitulah nasib kantin naas, bila kekayaan yang dimilikinya terus digerogoti oleh para pembelinya.
Bila kantin dianalogikan sebuah negara, dan masyarakat adalah pembelinya, nasib yang sama akan menimpa negara yang tidak beruntung itu. Kejujuran warga negara adalah sesuatu yang mutlak diperlukan guna kelangsungan negara. Pasalnya, sikap tidak jujur memicu sikap yang koruptif, menggerogoti keuangan negara.
Demikian analogi bijak yang dikemukakan Jaksa Agung Hendarman Supandji, ketika meresmikan warung kejujuran ke-1.000 di SMA Negeri 42 Jakarta, Rabu (15/10). Seperti layaknya warung kejujuran lainnya di seluruh Indonesia, setiap pembeli dapat mengambil sendiri barang yang diinginkannya, kemudian membayar, dan dapat mengambil kembalian sendiri. Itu semua dilakukan tanpa diawasi seorang pun.
Warung kejujuran merupakan sarana yang sangat penting untuk menanamkan sifat-sifat luhur itu sejak dini. Begitulah Hendarman memandang penting, kantin kejujuran yang mungkin dinilainya dapat membangun karakter dan budaya malu generasi muda. ’’Kasus korupsi itu karena sifat-sifat tidak jujur dalam oknum-oknum pemerintah dan swasta. Kalau sifat tidak jujur yang berubah koruptif merajalela, maka negara tidak bisa berkembang dan membangun,’’ ujarnya.
Tentu saja, asa besar dan mulia itu tidak dapat lantas dibebankan kepada kantin-kantin kejujuran se-Indonesia. Hal itu pula yang diakui Hendarman. Dalam pemberantasan korupsi, menurutnya, terdapat tiga strategi, yakni preventif, represif, dan edukatif. Langkah edukatif seperti menumbuhkembangkan kantin kejujuran, tentu harus dibarengi oleh langkah pencegahan dan penindakan korupsi. ’’Ini sesuai Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004, yang mengatur kewajiban kejaksaan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat,’’ terang alumnus Fakultas Hukum Undip itu.
Walaupun terkesan sederhana, jangan ragukan peranan kantin-kantin kejujuran dalam menumbuhkembangkan budaya jujur dan malu. Hendarman menerangkan, dari 1.000 kantin kejujuran yang telah diresmikannya, sesuai laporan, hanya dua yang bangkrut. Satu di sebuah sekolah di Medan, satu lagi di Bandung. Bisa jadi laporan itu tidak akurat, namun di tengah langkanya budaya malu para penyelenggara negara, kita patut mengapresiasi prestasi tersebut.
Bupati Demak Tafta Zani yang turut hadir dalam peresmian kantin kejujuran ke-1.000 tersebut, mengaku sedang merintis kantin kejujuran yang sama di Kota Wali. Sementara Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto menyatakan akan memerintahkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta agar terus menambah kantin kejujuran di ibu kota.
’’Saat ini, di Jakarta baru ada di 36 sekolah. Saya prihatin kalau hanya segitu jumlahnya. Nanti Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan saya perintahkan membuat format warung kejujuran yang lebih banyak lagi,’’ kata Prijanto.
Sementara Ketua Umum Karang Taruna Nasional Dodi Susanto menyatakan, konsep warung kejujuran di Indonesia akan ditiru oleh negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam. Guna memperkuat sindrom kantin kejujuran, bersama Jaksa Agung, dirinya pun meluncurkan situs, http://www.kantinkejujuran.org dan http://www.kantin-kejujuran.com. (Wahyu Wijayanto-62)